Kisah Wanita Cantik Yang Gemar Bertasbih

Kala itu Dinda masih cukup kecil dan hampir tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kepatuhan terhadap Tuhan. Di usianya yang masih cukup polos ia sudah aktif melibatkan dirinya dalam aktivitas spiritual. Aktivitas spiritual yang dimaksudkan adalah berdzikir / bertasbih. Wajar bila Dinda sudah aktif dalam kegiatan yang sifatnya agamis tersebut, sebab ia dilahirkan dari rahim seorang muslimah yang salih dan mengutamakan pendidikan agama serta aqidah.

Menjalani masa kedewasaan pada tahun milenium tidak menjadikan Dinda terpengaruh dengan budaya Barat yang masuk ke Indonesia. Bergemilang harga dan memiliki fisik yang sempurna juga bukan menjadikan Dinda sebagai seseorang yang sombong. Ia sangat ramah dan rendah hati. Selalu merunduk dengan Tuhan kala ketika ia sedang diberikan kabar gembira dan kabar buruk. Hatinya bersih ibarat air murni dari pegunungan.

Di usianya yang sudah menginjak 26 tahun, Dinda memutuskan untuk menikah dengan salah satu pria yang dikenalnya kala masih duduk di bangku kuliah. Pernikahan bukanlah awal kebahagiaan bagi Dinda, melainkan awal dari kisah buruk yang akan dialaminya. Ketika membangun sebuah hubungan, kala itu Dinda memutuskan untuk tidak berpacaran sebab ia memegang erat aqidah Islam yang diajarkan oleh orang tuanya. Ia menilai bahwa pria yang dikenalnya adalah calon imam yang baik dan bisa membimbingnya untuk menjadi lebih baik. Tidak salah jika Dinda memiliki pemikiran semacam itu, sebab pria yang dijadikan sebagai tamatan hati adalah sosok pria yang sifatnya sangat agamis.

Kebaikan seseorang ternyata tidak hanya dinilai dari fisik seseorang. Bulan pertama dan kedua pernikahan sepasang insang tersebut terkesan harmonis. Namun memasuki bulan ketiga sikap dari suami Dinda kian berubah. Perubahan sikap yang diperlihatkan oleh suami Dinda tersebut bermula ketika usaha yang didirikannya mulai tidak menghasilkan. Adalah biro penyelenggara haji dan umroh, usaha yang sudah bertahun-tahun dijalani oleh suami Dinda. 

Singkat cerita. Kala itu Dinda sedang hamil muda. Tidak ada perhatian dari sang suami, bahkan kesehariannya Dinda terkesan monoton. Hari-hari sang suami sangat sibuk dengan pekerjaan dan pekerjaan, hingga tidak mempedulikan istri. Sikap Dinda begitu tabah, ia kuat dengan kondisi dan suasana semacam itu. Kesehariannya ia gunakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menunaikan kewajiban, sebagaimana keaktifan ia sejak kecil, yakni berdzikir / bertasbih.

Tuhan sangat cinta dengan hambanya yang tabah dan selalu bertawakal. Hal yang dialami oleh Dinda mungkin sebuah ujian dari Tuhan untuk menguji kesabaran dan ketawakalan yang dimilikinya. Kejadian yang tidak pernah dialami Dinda kala itu terjadi pada sore hari selepas suaminya pulang dari kegiatan hariannya, yakni bekerja membangun biro penyelenggara haji dan umroh agar berjalan seperti sediakala.

Suasana rumah sore itu sepi sunyi, hanya Dinda dan suaminya saja lah yang berada di dalam rumah. Ketika suaminya hendak berganti pakaian selepas mandi, Dinda hanya mengingatkan suaminya tersebut agar menunaikan ibadah wajib dan jangan terlalu terfokus dengan urusan duniawi. Setan apa yang masuk ke dalam diri sang suami, tiba-tiba sontak ia mengeraskan nada suara dan mengkritik perintah Dinda, “pagi, siang, sore dan malam hari kamu luangkan waktu untuk berdzikir / bertasbih, namun apa yang kamu dapat di dunia ini ?”, kata sang suami pada Dinda.

Dinda yang tidak kuat dengan itu semua meneteskan air mata. Lepas itu juga sang suami masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Dengan kerendahan hati Dinda, pada akhirnya Dinda pun mencoba untuk meminta maaf kepada sang suami. Kala itu ia masih menangis sambil mengetuk pintu kamar. Sang suami tidak memberikan jawaban atas permintaan maaf Dinda. Dinda yang tidak putus asa mencoba untuk meminta maaf kembali pada sang suami, sambil mengetuk pintu Dinda pun berkata “maafkan atas perkataan ku tadi, dengan menyesal aku minta maaf”, kata Dinda.

Sang suami pun membuka kunci pintu, dengan sesegera Dinda mencium tangan sang suami dan meminta maaf. Emosi sang suami yang masih belum turun akhirnya meningkat ketika melihat Dinda menangis. Didorong Dinda keluar dari kamar, namun Dinda pun bersikeras untuk meminta maaf. Pada akhirnya dengan tenaga  yang kuat sang suami memaksa Dinda keluar dari kamar, namun keinginan Dinda untuk segera berbaikan seperti semula sangatlah kuat. Sang suami bersikap kaku dan Dinda yang kala itu masih menangis sedang ada di depan pintu kamar.

Entah karena sebab suara tangisan Dinda atau karena hal lainnya, yang pasti amarah dan emosi sang suami tidak terbendung, kala itu juga Dinda yang berkeinginan untuk masuk ke kamar dan meminta maaf justru diusir hingga terjadi tarik menarik handle pintu. Dinda yang mencoba untuk masuk kamar dicegah oleh sang suami. Dinda menahan perlawanan sang suami dengan menahan pintu dengan kedua tangannya, kala itu juga amarah sang suami semakin meningkat dan pada akhirnya menutup paksa pintu kamar dengan membanting tutup pintu kamar yang pada akhirnya menyebabkan kedua tangan Dinda terjepit. Sang suami tidak peduli dengan sakit dan derita Dinda hingga pada akhirnya Dinda menyerah untuk meminta maaf lantaran rasa sakit yang dialaminya akibat terjepit pintu.

Dua hari sudah berlalu, luka akibat terjepit pintu pada tangan Dinda masih terlihat. Pasangan suami istri tersebut belum juga berbaikan. Dinda beraktifitas seperti biasanya, kegiatan dzikir / bertasbih usai menunaikan ibadah wajib tetap ia lakukan, meskipun kedua tangannya terluka. Sang suaminya pun demikian, disibukkan dengan pekerjaan dan pekerjaan.

Malam ke empat pasca pertengkaran hebat itu suami Dinda meminta maaf dan memberikan kabar gembira pada Dinda. Di suasana sebelum makan malam, sang suami minta maaf. “Aku salah telah berkata demikian kepadamu, seharusnya aku bisa menjadi imam yang baik untuk istri dan anakku” (sambil menyandarkan kepala ke perut Dinda ). “Biro penyelenggaraan haji dan umroh yang kini sudah kolaps bisa berdiri lagi karena akan ada satu investor yang memberikan suntikan dana untuk menutupi kekurangan keuangan yang ada, jadi kita bisa menjalani hari-hari seperti dulu lagi tanpa saya harus dipusingkan dengan kerjaan”, kata sang suami kepada Dinda.

Dinda pun hanya bisa senyum dengan mata yang berkaca-kaca. Kala itu juga sang suami baru sadar bahwa tindakan yang dilakukannya beberapa hari yang lalu telah melukai tangan Dinda. Ia memberikan penawaran kepada Dinda agar lukanya diobati ke rumah sakit, namun Dinda menolak permintaan tersebut dan kemudian mereka melanjutkan makan malamnya.

Terbangun dari tidurnya, sang suami melihat ada keanehan pada tangan Dinda. Luka tersebut membiru dan wajah Dinda pucat. Hari itu yang seharusnya menjadi hari kebangkitan dari usaha  penyelenggaraan haji dan umroh yang didirikan oleh suami Dinda malah menjadi awal kegagalan menjalin kerjasama. Panik dengan kondisi dan keadaan Dinda, sang suami membawanya ke rumah sakit dan lupa dengan rapat serta penandatanganan surat perjanjian kerja dengan investor yang sudah bersedia memberikan suntikan dana.

Tiga hari Dinda di rawat di rumah sakit dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa luka pada tangan Dinda menjalar pada syaraf lainnya dan termasuk dalam kategori akut sehingga diharuskan untuk memotong kedua tangannya. Mendengar penjelasan dari dokter, sang suami matanya berkaca-kaca dan meneteskan air mata. Ia menyesali perbuatan yang dilakukannya.

Beberapa hari usai dilakukan proses operasi dan keadaan Dinda sudah mulai membaik, sang suami pun meratapi kesalahan yang dilakukan dan memeluk serta mencium kening Dinda. Tidak kuat melihat kondisi dan keadaan Dinda, sang suami menangis. Dinda hanya bisa diam dan tersenyum, tidak lama kemudian Dinda pun berkata, “kedua tanganku sudah hilang, kini kamu tidak perlu mengkaitkan dzikir / bertasbih yang sering ku lakukan, sebab untuk memegang tasbih saja aku tidak bisa. Bila bisa, tolong kembalikan tanganku. Bila kamu bisa mengembalikan kedua tanganku, aku akan mengurangi kegiatan berdzikir / bertasbih, namun dengan satu syarat, jadilah imam yang bisa memberikan contoh baik pada istri dan anakmu”.

Mendengar apa yang dikatakan Dinda, sang suami menangis dan menyesali perbuatannya. Kala itu juga, dengan kesederhanaan yang dimiliki oleh pasangan tersebut, mereka menjalani kehidupannya dengan damai. Sang suami tidak lagi sibuk dengan usahanya, bahkan ia lebih meluangkan waktu untuk istrinya dan mempercayakan usahanya untuk dikelola oleh orang lain. Bahkan, sang suami pun senantiasa memimpin kegiatan dzikir / bertasbih yang setiap harinya sering dilakukan oleh Dinda sang istri.

Kita semua tahu bahwa kehidupan ini tidak terhenti pada kehidupan dunia. Ketika jasad ini sudah tidak bernyawa, kita akan mengawali kehidupan di alam yang kekal, yakni akhirat. Kala itu juga Tuhan akan menimbang segala amal perbuatan kita semasa di dunia, mereka yang sukses di dunia belum tentu bisa sukses di akhirat dan mereka yang sengsara di dunia belum tentu akan sengsara di akhirat. Semua ditentukan dari amal perbuatan, sikap Dinda yang demikian mencerminkan salah satu contoh wanita muslimah yang sabar dan tawakal menerima ujian dari Tuhan. 

Sebagaimana dengan Dinda yang dikisahkan di atas. Sebagai manusia biasa kita harus sadar diri akan hakikat kita sebagai seorang hamba. Sabar dan tawakal adalah kunci sukses untuk meraih kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan bila Anda menjadi tokoh Dinda pada kisah di atas, Anda belum tentu bisa sabar menerima cobaan tersebut. Bahkan ketika Anda memutuskan untuk mencontoh Dinda dalam hal melakukan dzikir / bertasbih setiap harinya, belum tentu kegiatan yang sifatnya agamis tersebut mampu memberikan berkah layaknya berkah yang diperoleh para Wali Allah yang katanya berkah yang diterima tersebut diterimanya dari perantara Tasbih Karomah yang dimilikinya.

Wanita adalah perhiasan dunia dan makhluk terindah di tata surya ini. Berbangga hatilah bila Anda memiliki seorang istri yang cantik fisiknya dan baik hatinya. Sesali kesalahan yang telah Anda perbuat kepada istri Anda, jangan sia-siakan ia sebab wanita yang baik aqidah dan fisiknya adalah berkah yang diturunkan Tuhan kepada kita sebagai kaum adam.